Selasa, 14 Desember 2010

Artikel Catatan Bulutangkis






Penampilan para pebulutangkis Indonesia di arena Asian Games, sampai hari Rabu kemarin masih belum memuaskan. Di nomor tunggal putra, Sony Dwi Kuncoro menyerah dari pemain Taiwan, Chou Thien Chen. Bahkan, di tunggal putri andalan Indonesia, Adrianti Firdasari menyerah Wong Mew Choo dari Malaysia dua set langsung. Sebelumnya, di nomor beregu Indonesia hanya bisa menyandingkan medali perunggu. Tim putri Indonesia menyerah dari Thailand, sementara Taufik Hidayat dan kawan-kawan menyerah dari China. Kekalahan tim putri dari Thailand, cukup mengejutkan mengingat selama ini, Indonesia belum pernah kalah.

Kekalahan Sony di nomor perseorangan pada babak pertama, tidak bisa semata menyalahkan pemain. Sony selama ini diketahui sering mengalami cedera. Seperti pengalaman saya selama di Pelatnas Cipayung, untuk pemulihan cedera itu membutuhkan paling tidak 4-5 bulan. Sony dan juga Simon Santoso, sering kali diberitakan beberapa kali mengalami cedera. Atlet bisa cedera antara lain akibat dari pola pelatihan atau bisa juga atletnya kurang profesional. Oleh sebab itu peran pelatih dalam meningkatkan teknik dan keterampilan di lapangan, diakui atau tidak oleh pemain, sangatlah besar.

Saya teringat pada Tong Sin Fu, mantan pemain nasional China yang pernah melatih saya di Cipayung. Setelah kembali ke China, Tong Sin Fu sekarang hanya diserahi tugas oleh Asosiasi Bulu Tangkis China, hanya memegang seorang pemain, Lin Dan. Kita semua tahu, bagaimana sepak terjang Lin Dan dalam perbulutangkisan dunia dalam tiga empat tahun terakhir ini. Ketika melatih di Cipayung, Tong Sin Fu pernah melatih Joko Suprianto, Ardy B Wiranata, Hermawan Susanto, Alan Budikusuma, dan saya sendiri. Bahkan, Tong pernah melatih Icuk Sugiarto dan Eddy Kurniawan. Pada tahun 1993, Tong diminta melatih ganda putri. Hasilnya, pasangan Elisabeth/Zelin yang menjadi penentu kemenangan pada perebutan Piala Uber 1996 di Hongkong.

Uraian di atas hanya sekadar ingin menunjukkan bagaimana pelatih berperan besar dalam “melahirkan” pemain, seperti yang selama ini menjadi semacam pedoman bagi pelatih bulu tangkis di China. Bagaimana “melahirkan” pemain dunia, itulah yang mesti dicontoh oleh khususnya pelatih dan umumnya pengurus bulu tangkis di Indonesia. Kalau pun PB PBSI pernah menyinggung pelatih asing, saya sendiri tidak setuju mengingat ketika pemain Indonesia mendominasi bulu tagkis dunia, sebagian besar pelatih kita dari lokal. Mungkin, yang perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kualitas pelatih pelatnas, baik melalui seminar, lokakarya, atau apa pun namanya.

Saya mengusulkan, agar para pemain hebat Indonesia dikumpulkan dan diminta menceritakan pengalaman mereka berlatih hingga menjadi pemain hebat. Saya yakin, masing-masing pemain memiliki pengalaman berlatih hingga menjadi pemain hebat, yang berbeda-beda. Dengan bekal itu, pelatih di pelatnas paling tidak mempunyai semacam manual bagaimana menangani atau melatih satu pemain.

Agar Indonesia dapat mempertahankan dominasinya, saya kira sebaiknya PB PBSI mulai fokus pada pembinaan atlet-atlet pratama. Pelatih pratama pun harus selalu mendapat update tentang ilmu kepelatihan, baik teknik, fisik, maupun mental pemain. Tanpa focus pada pembinaan pemain pratama, pada SEA Games 2011 Indonesia bisa kedodoran menghadapi Thailand, yang memiliki banyak pemain muda cukup baik.

Sebagai mantan pemain, saya berharap, pemain kita mau belajar terus dari setiap pertandingan untuk menemukan cara atau strategi yang tepat mengalahkan pemain yang sama pada pertemuan mendatang. Tanpa mau belajar kepada lawan, saya yakin, seorang pemain tidak akan dapat menjadi pemain hebat. Seorang juara pasti pernah mengalami kegagalan, dari kegagalan tersebut membuat kita belajar apa yang harus diperbaiki, agar bisa berbuat lebih baik lagi dimasa mendatang. Dengan cara itu saya yakin bulutangkis Indonesia akan kembali dominan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar